PENDIDIKAN ANAK PRA SEKOLAH

Pendidikan Anak Pra Sekolah

"Sejak lahir sampai usia 3 tahun anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat menyerap pengalaman¬pengalaman melalui sensorinya; usia satu setengah tahun sampai kira¬kira 3 tahun mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya."
(Theo & Martin, 2004)

Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma- norma kehidupan bermasyarakat atau disebut juga pendidikan anak pada usia dini (PAUD), yang biasanya ruang lingkupnya adalah sejak lahir hingga usia anak mencapai delapan tahun.

Pendidikan anak pra sekolah  adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Dewasa ini, pendidikan pra sekolah baru diperoleh sebagian kecil anak di Indonesia. Hal tersebut merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian dimana masih banyak pihak yang belum mengetahui pentingnya pendidikan anak pra sekolah dan usia dini bagi perkembangan kognitif anak.

Adapun tujuan utama dari pendidikan pra sekolah adalah untuk mengembangkan tingkat kecerdasan dan mental baik secara fisik dan rohani, serta membentuk karakter anak agar bisa mengatur perasaan emosi serta punya jiwa sosial yang tinggi. Sehingga ketika mereka masuk pada tingkat pendidikan dasar pertama, anak-anak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan lebih mandiri.

Mendidik anak sejak dini memang memang perlu melibatkan masyarakat umum bukan sekedar menjadi tugas orangtua semata. Karena rentang usia antara nol hingga delapan tahun adalah masa emas dimana otak anak mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga mencapai 80%. Pada usia ini anak dengan mudah menyerap berbagai informasi melalui obyek yang dilihat dan diamati.

Namun pada usia ini pula anak belum bisa membedakan mana info yang baik dan yang tidak baik bagi mereka dan yang tidak boleh dilupakan, dari sini sistem pendidikan pra sekolah untuk mendidik anak sejak dini yang diadakan akan punya peran yang penting, sebab pendidikan pra sekolah (PAPS) akan mengajarkan pada anak untuk memilih mana info yang boleh dijadikan contoh dan info yang tidak boleh diserap. Sehingga mereka sudah bisa membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang merupakan pelanggaran serta tidak boleh ketika masuk pada pendidikan dasar pertama.

Adapun pelajaran yang diberikan pada sistem pendidikan pra sekolah tidak hanya melalui perkataan saja, namun justru lebih mementingkan pada bentuk-bentuk permainan edukatif dan kandungan moral yang tinggi. Jadi anak tidak akan merasa terbebani dan tetap bisa melewati masa kanak-kanaknya yang penuh kegembiraan bersama teman-teman sebayanya.

Nah, inilah masalah yang dihadapi Pendidikan Anak Pra Sekolah di Indonesia. Berikut beberapa masalah yang kurang sesuai dengan tujuan awal adanya PAPS dan saran yang dapat saya berikan:
1. Anak dituntut agar bisa membaca dan menulis sebelum memasuki bangku sekolah dasar (SD). Anak-anak yang seharusnya ditekankan pada program "bermain sambil belajar", saat ini malah dibebani tugas-tugas menulis dan membaca yang sebenarnya kurang sesuai untuk perkembangannya. Anak seharusnya ditanamkan "stigma" bahwa sekolah itu menyenangkan saat ini malah jarang sekali ada anak yang menyukai sekolah.
2. Masih adanya golongan masyarakat yang tidak menyadari pentingnya PAPS. Hal ini merupakan hal yang pilu, karena banyaknya warga negara Indonesia yang masih tidak mengetahui pentingnya PAPS ini sehingga masih banyak anak-anak yang belum menerima PAPS. Padahal, seperti yang kita ketahui, PAPS sangat membantu dalam perkembangan anak, dalam berbagai aspek, seperti: fisik, sosial, kognitif, dan sebagainya. Orang tua seharusnya diinformasikan mengenai hal ini oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga lain.
3. Fasilitas lembaga PAPS yang tidak memadai atau kurang kondusif. Banyak PAPS di Indonesia yang kurang memperhatikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran anak dan ruang belajar anak yang masih kurang kondusif. Anak pada usia PAPS adalah masa di mana anak sangat suka bereksplorasi dan mengembangkan kemampuan motoriknya, sehingga anak cenderung lasak pada masa ini. Namun, masih banyak lembaga PAPS yang tidak berupaya menghindarkan anak dari kecelakaan yang mungkin terjadi di ruang kelasnya, contohnya dengan menghindarkan penggunaan meja kaca atau meja bersisi tajam.

1.2.            Ciri-Ciri Anak Prasekolah
1.2.1.      Ciri Fisik Anak Prasekolah
Penampilan maupun gerak-gerik anak taman kanak-kanak mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya. Anak prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memiliki peguasaan (control)terhadap tubuhnya, sangat meyukai kegiatan yang dilakukan sendiri. Otot-otot besar pada anak taman kanak-kanak lebih berkembang dari control jari dan tangan. Oleh karena itu, biasanya anak belum terampil dalam kegiatan yang rumit seperti mengikat tali sepatu.Anak masih sering mengalami kesulitan apabila harus memfokuskan pandangannya pada objek-objek yang kecil ukurannya, itu sebabnya koordinasi tangan dan matanya masih kurang sempurna. Walaupun tubuh anak ini lentur, tetatpi tengkorak kepala yang melindungi otak masih lunak. Oleh karena itu, hendaknya berhati-hati bila anak berkelahi dengan teman-temannya. Orang tua atau guru harus senantiasa mengawasi dengan cermat dan telaten.
1.2.2.      Ciri Sosial Anak Prasekolah
Anak prasekolah telah menyadari peran jenis kelamin dan sex typing.  Setelah anak masuk TK, umumnya pada mereka telah berkembang kesadaran terhadap perbedaan jenis kelamin dan peran sebagai anak lelaki dan anak perempuan. Kesadaran ini tampak pada pilihan terhadap alat permainan dan aktivitas bermain yang dipilih anak lelaki dan anak perempuan. Anak lelaki umumnya lebih menyukai bermain di luar, bermain kasar dan bertingkah laku agresif. Anak perempuan lebih suka bermain bersifat kesenian, bermain boneka, dan menari.
Paten (1932), mengamati tingkah laku sosial anak usia dini ketika mereka sedang bermain bebas sebagai berikut:
a.        Tingkah laku unoccupied. Anak tidak bermain dengan sesungguhnya. Ia mungkin berdiri di sekitar anak lain dan memandang temannya tanpa melakukan kegiatan apapun.
b.        Bermain soliter. Anak bermain sendiri dengan menggunakan alat permainan berbeda dengan apa yang dimainkan oleh teman yang ada di dekatnya. Mereka tidak berusaha untuk saling bicara.
c.         Tingkah laku onlooker. Anak menghabiskan waktu dengan mengamati. Kadang memberi komentar apa yang dimainkankan anak lain, tetapi tidak berusaha untuk bermain bersama.
d.        Bermain parallel. Anak bermain dengan salin berdekatan, tetapi tidak sepenhnya bermain bersama dengan anak yang lain. Mereka menggunakan alat mainan yang sama, berdekatan tetapi dengan cara yang tidak saling bergantung.
e.        Bermain asosiatif. Anak bermain dengan anak lain tetapi tanpa organisasi. Tidak ada peran tertentu, masing-masing anak bermain dengan caranya sendiri-sendiri.
f.          Bermain kooperatif. Anak bermain dalam kelompok di mana ada organisasi, ada pimpinannya. Masing-masing anak melakukan kegiatan bermain dalam kegiatan bersama, misalnya perang-perangan, sekolah-sekolahan, dan lain-lain. Sejalan dengan perkembangan kognitif anak. Piaget mengemukakan perkembangan permainan anak usia dini sebagai masa symbolic make play(berlangsung dari 2-7 tahun).
Pola Bermain
Pola bermain anak prasekolah sangat bervariasi fungsinya sesuia dengan kelas sosial dan ‘gender’. Keneth Rubin dkk (1976), melakukan pengelompokan setelah mengamati kegiatan bermain bebas anak prasekolah yang dihubungkan dengan kelas sosial dan kognitif anak, yaitu:
·        1. Bermain fungsional. Melakukan pengulangan gerakan-gerakan  otot dengan atau tanpa objek-objek.
·        2. Bermain konstruktif. Melakukan manipulasi terhadap benda-benda dalam kegiatan membuat konstruksi
         atau mengkreasi/ mencipatakan sesuatu.
·        3. Bermain dramatik, adalah dengan menggunakan situasi yang imajiner.
·        4. Bermain dengan mennggunakan aturan
Paten dan Rubin dkk menemukan bahawa anak-anak dari kelas ekonomi rendah lebih sering melakukan bermain yang fungsional dan bermain parallel dibandingkan dari anak yang berasal dari kelas menengah. Dari kelas menengah lebih banyak bermain asosiatif, kooperatif, dan konstruktif.
Sedangkan anak perempuan lebih banyak soliter, konstruktif-paralel, dan dramatik, dibandingkan dengan anak lelaki. Anak lelaki lebih banyak bermain fungsional-soliter dan asosiatifdramatik daripada anak perempuan.


1.2.3.      Ciri Kognitif Anak Prasekolah
Pada rentang usia 3-4 sampai 5-6 tahun, anak mulai memasuki masa prasekolah yang merupakan masa kesiapan untuk memasuki pendidikan formal yang sebenarnya di sekolah dasar. Menurut Montessori masa ini ditandai dengan masa peka terhadap segala stimulasi yang diterimanya melalui pancaindera. Masa peka memiliki arti penting bagi perkembangan setiap anak.
Piaget berpendapat bahwa, anak pada rentang usia ini, masuk dalam perkembangan berpikir praoperasional konkret. Pada saat ini sifat egosentris pada anak semakin nyata. Anak mulai memiliki perspektif yang berbeda dengan orang lainyang berbeda di sekitarnya. Orang tua sering menganggap periode ini sebagai masa sulit karena anak menjadi susah diatur, bisa disebut nakal atau bandel, suka membantah dan banyak bertanya. Anak mengembangkan keterampilan berbahasa dan menggambar, namun egois dan tak dapat mengerti penalaran abstrak atau logika.
Dalam kesempatan lain, Hurlock menyatakan bahwaanak usia 3-5 tahun adalah masa permainan. Bermain dengan benda atau alat permainadimulai sejak usia satu tahun pertama dan akan mencapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. Menurut Piaget, usia 5-6 tahun ini merupakan praoperasional konkret. Pada tahap ini anak dapat memanipulasi objek symbol, termasuk kata-kata yang merupakan karakteristik penting dalam tahapan ini. Hal ini dinyatakan dalam peniruan yang tertunda dan dalam imajinasi pura-pura dalam bermain.
Menurut Montessori dalam Patmonodewo (2000), masa peka anak yang berada pafa usia 3,5 tahun ditandai dengan suatu keadaan di mana potensi yang menunjukkan kepekaan (sensitif) untuk berkembang. Dalam kaitan itu, menurut Dewey dalam Soejono (1960), pendidik atau orang tua harus memberikan kesempatan pada setiap anak untuk dapat melakukan sesuatu, baik secara individual maupun kelompok sehingga anak akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Sekolah harus dijadikan laboratorium bekerja bagi anak-anak.
Adapun Gessel dan Amatruda, mengemukakan bahwa anak usia 3-4 tahun telah mulai mampu berbicara secara jelas dan berarti. Kalimat-kalimat yang diucapkan anak semakin baik, sehingga masa ini dinamakan masa perkembangan fungsi bicara. Selanjutnya, pada usia 4-5 tahun yaitu masa belajar matematika.

1.2.4.      Ciri Emosional Anak Prasekolah
Anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan oleh anak pada usia ini. Iri hati pada anak usia dini ini sering terjadi. Mereka sering memperebutkan perhatian guru. Emosi yang tinggi pada umumnya disebabkan oleh masalah psikologisdibanding masalah fisiologis. Orang tua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa hal, padahal anak merasa mampu melakukan lebih banyak lagi. Hurlock mengemukakan pola-pola emosi umum pada awal masa kanak-kanak sebagai berikut:
a.       Amarah. Penyebab amarah yang paling umum ialah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan, dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, melompat-lompat, atau memukul.
b.      Takut. Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut seperti cerita-cerita, mulanya reaksi anak terhadap rasa takut ialah panik, kemudia menjadi lebih khusus lagi seperi lari, menghindar, bersembunyi, dan menangis.
c.       Cemburu. Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain di dalam keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkan dengan kembali berperilaku seperti anak kecil seperti mengompol, pura-pura sakit, atau menjadi nakal yang berlebihan. Perilaku ini semuanya bertujuan untuk menarik perhatian orang tuanya.
d.      Ingin tahu. Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertama ialah dalam bentuk penjelajahan sensomotorik, kemudian sebagai akibat dari tekanan sosial dan hukuman, anak bereaksi dengan bertanya.
e.       Iri hati. Anak-anak sering iri hati mengenai kemapuan atau barang yang dimliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacam-macam cara, yang paing umum ialah dengan mengeluh tentang barangnya sendiri, dengan mengungkapkan keinginan untuk memilki barang seperti yang dimiliki orang lain.
f.        Gembira. Anak-anak merasa gembira karena sehat, situasi yang tidak layak, bunyi yang tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, bencana yang ringan, membohongi orang lain, dan berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Anak mengungkapkan kegembiraan dengan tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat atau memeluk benda atau orang yang membuat bahagia.
g.       Sedih. Anak-anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang, atau benda mati seperti mainan. Secara khas anak mengungkapkan kesedihannya dengan menangis dan dengan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan.
h.       Kasih sayang. Anak-anak belajar mencintai orang lain, binatang, atau benda yang menyenangkannya. Anak mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, tetapi ketika masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk, dan mencium objek kasih sayangnya.

1.3.            Pengertian Kesiapan Belajar
Secara umum kesiapan belajar merupakan kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Kesiapan sering kali disebut dengan “readiness”. Seorang baru dapat belajar tentang sesuatu apabila di dalam dirinya sudah terdapat “readiness” untuk mempelajari sesuatu itu.
Menurut Djamarah “readiness” sebagai kesiapan belajar adalah suatu kondisi seseorang yang telah dipersiapkan untuk melakukan suatu kegiatan. Maksud melakukan suatu kegiatan yaitu kegiatan belajar, misalnya mempersiapkan buku pelajaran sesuai dengan jadwal, mempersiapkan kondisi badan agar siap ketika belajar di kelas dan mempersiapkan perlengkapan belajar yang lainnya.

1.3.1.      Keterampilan Kunci Untuk Meningkatkan Kesiapan Sekolah Anak Prasekolah
Hasil beberapa kajian lebih menunjukkan bahwa secara umum tujuan utama pendidikan pra-sekolah adalah untuk meningkatkan kesiapan sekolah yang lebih difokuskan pada berbagai ketrampilan daripada konten akademik. Wylie (1998) mengemukakan bahwa ada beberapa ketrampilan-ketrampilan krusial yang akan dibutuhkan anak selama perjalanan pendidikannya mulai dari sekolah dasar dan seterusnya, diantaranya yaitu: ketrampilan menyimak dan mendengarkan, ketrampilan akademik, ketrampilan bekerja secara mandiri dan secara kelompok, serta ketrampilan berkomunikasi.
Sejalan dengan pandangan Wylie (1998), Muijs & Reynolds (2008) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesiapan sekolah, mungkin akan lebih baik jika pendidikan pra-sekolah memfokuskan pada ketrampilan sosial, menciptakan kesempatan untuk belajar dan mengembangkan ketrampilan yang terkait dengan kesiapan sekolah. Lebih lanjut, Muijs & Reynolds (2008:280) mengemukakan beberapa ketrampilan kunci untuk meningkatkan kesiapan sekolah anak pra-sekolah, yaitu:
a.       Ketrampilan sosial, misalnya kemampuan untuk bekerjasama secara kooperatif, untuk menghormati orang lain, untuk mengekspresikan emosi dan perasaan dengan cara yang terhormat, untuk mendengarkan orang lain, untuk mengikuti aturan dan prosedur, untuk duduk dengan penuh perhatian, dan untuk bekerja secara maindiri. Pengembangan ketrampilan sosial pada anak pra-sekolah sangat krusial mengingat adanya beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bila seseorang anak belum mencapai kompetensi sosial minimal pada umur 6 tahun, di kelak kemudian hari ia akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan kompensi tersebut (Katz, 1997).
b.      Ketrampilan komunikasi, misalnya ketrampilan untuk meminta bantuan dengan cara yang baik dan sopan, ketrampilan untuk memverbalisasikan pikiran dan perasaan, menjawab pertanyaan terbuka dan tertutup, berpartisipasi dalam diskusi kelas, dan ketrampilan untuk menghubungkan berbagai ide dan pengalaman.
c.       Perilaku terkait-tugas, misalnya perilaku tidak mengganggu anak-anak lain selama proses belajar, ketrampilan anak untuk memantau perilakunya sendiri, menemukan bahan-bahan yang diperlukan guna menyelesaikan tugas, mengikuti pengarahan guru, menggeneraliasikan ketrampilan ke berbagai situasi, bersikap on-task selama mengerjakan pekerjaan yang melibatkan seluruh kelas, dan mencoba berbagai strategi untuk mengatasi masalah yang berbeda.

Nah, sekian penjelasan dari saya mengenai pendidikan anak pra sekolah, semoga bermanfaat buat temen-temen๐Ÿ’•๐Ÿ’•๐Ÿ˜‰

Komentar

Postingan populer dari blog ini

L O V E ๐Ÿ’–

PENDAGOGI & ANDRAGOGI

Pendidikan Multikultural